magical batu karas

Gara-gara satu Helsinki mau bedol desa lebaran tahun ini (baca: orang Indonesia di sini banyak yang mau mudik), gue dan teman-teman membahas rencana jalan-jalan kami sesampainya di Indonesia nanti. Salah satu destinasi yang dibahas adalah Batu Karas dan Green Canyon-nya, tempat yang pernah gue kunjungi sekeluarga saat mudik 2015 lalu.

Sekembalinya ke Kerava dari mudik tersebut, gue sempet menuliskan kisah perjalanan gue itu di blog. Tapi ternyata mentok cuma jadi draft aja dan baru hari ini niat diteruskan setelah tadi dibahas bareng Rachma dan Anggi.

Setelah dua tahun akhirnya tulisan ini rampung juga. Mari kita kendurian.

*potong tumpeng*

——***——

Marilah kita buka kisah mudik 2015 dengan perjalanan kami sekeluarga ke Batu Karas.

Alkisah rencana untuk pergi ke Medan dibatalkan akibat para personilnya mundur satu persatu. Karena itu untuk mudik tahun ini Mikko mengusulkan kalau acara jalan-jalan kami cukup ke daerah yang dekat-dekat aja, ke daerah Jawa Barat aja, biar gak usah naik pesawat. Katanya sih untuk menghindari kenaasan seperti yang menimpa Air Asia Desember kemarin, tapi alasan yang paling mendasar ya apalage kalo bukan karena kekurangan fulus.

Akhirnya diputuskanlah kalau kami akan ke Batu Karas sambil menyambangi Green Canyon untuk main-main air. Berhubung gue mana berani nyetir mobil keluar BSD jadinya kita pergi sama Remi dan keluarganya. Eh, taunya bokap nyokap ingin ikut juga. Akhirnya seluruh isi rumah BSD ikut meramaikan perjalanan kali ini. Selain keluarga gue dan Remi, ada juga nyokap, bokap, Rima, ibu (tante gue) dan Osi (adek iparnya Remi). Bwuaaah. Rame banget!

Berapa lama sih ke Batu Karas? Gue bertanya. “Yaaaah,…paling 6-7jam” kata Remi. Astaga! Gue dan Mikko kan benci banget naik mobil lama-lama. Kami ini bukan penggemar road trip, malah sebenarnya kami benci road tripping, apalagi kalo pake bawa dua bocah. Ampun dijeeee!

Untuk menghindari macet dicanangkan kalau kami berangkat dari rumah jam 3 pagi. Dan surprise…surpriseee…gue ketiban sial disuruh nyetir sampai Bekasi Timur, ke rumahnya Remi. Gue gak punya SIM lhoooo! BSD-Bekasi jauh lhooo. Saking deg-degannya gue gak tidur semaleman. Selamet gak ya gue sampe Bekasi?

Pagi buta sebelum berangkat, gue ganti baju dulu di kamar nyokap.

“Masya Allaaah…itu kaki? Kok lebar kali pahanya?” tiba-tiba nyokap gue berseru.

Ya, iya sih, gue emang lagi gendutan tapi gak usah sekaget itu kali, mah. Komplit banget derita gue pagi itu. Harus nyetir subuh-subuh, kurang tidur, ditambah hati yang terluka gara-gara si mamah. Hari itu gue tetapkan bahwa mudik kali ini akan jadi mudik yang sehat dan penuh kontrol diri. Gak ada acara banyak-banyak makan. Tapi kita semua pasti tau lah kenyataan sesudahnya, ya,…zzzzzzz….

Nyetir pagi-pagi buta katanya Remi sih enak. Lancar, sepi, bebas macet. Tapi gue yang supir amatiran ini malah ketakutan setengah mati. Dengan mata yang rabun ayam, gue nyetir sambil hidung menempel di kaca depan. Kok gelap amat sik? Gue jadi ketakutan nyetir terlalu kencang karena takut hilang kendali ditambah gue juga takut banget tiap kali ngeliat truk. Takut disalip sama truk, takut nyalip truk dan kasih tau yaaaa….jalanan pagi itu isinya truk semua segede-gede bagong!

Gue keluar rumah jam 3 dan baru sampai rumah Remi jam 4.30. Bolak-balik Remi nelepon. “Di mana sih lo? Kok lama banget?” Ya maklum, gue tabah menanti nyetir di belakang truk. Gak berani nyalip. Cukup sekian aja karir gue sebagai supir antar kota. Deg-degannya bikin gue hampir pipis di celana.

Begitu setir di ambil alih oleh Remi gue pun tidur dengan pulas di jok belakang dan baru terbangun di daerah Tasik. Aseeeek…udah deket dong ya ke Batu Karas? Borokokok! Setengahnya aja belon! Total perjalanan kami waktu itu hampir 10 jam. Ini masih Indonesia gak sih?

Di daerah Tasik itu kami berhenti untuk makan di Warung Jeruk. Katanya Remi sih rumah makan ini terkenal sekali dan sering masuk TV. Gue iyain aja dah, yang penting bisa keluar mobil barang sejenak.

Warung Jeruknya ramaaaaai. Makanannya sederhana aja semacam ayam goreng, ayam bakar, ikan goreng, pepes ikan, dan lalapan. Gak sampai bikin gue WOW tapi karena waktu itu lagi laper banget jadi semuanya terasa enak di lidah. Kai dan Sami juga suka makan ayam dan ikan gorengnya.

Tiba di Batu Karas kami sempat liat-liat hotel dulu karena memang udah niat mau go show tanpa reservasi apa pun sebelumnya. Batu Karas di bulan Januari kemarin itu lumayan sepi, jadi kami bisa pilih-pilih hotel. Gue jatuh cinta sama Villa Monyet yang terlihat etnis-etnis eksotis. Villanya cuma ada 6 dan masing-masing berbentuk seperti lumbung padi dengan atap rumbia. Interior kamarnya didominasi kayu dan gedeg bambu dengan tempat tidur berkelambu. Cocok buat syuting sequelnya film Susana.

10922417_10152678380801588_8605171115266865888_n

Remi dan Icha tampaknya kurang sreg sama Villa Monyet. Mereka maunya nginep di tempat yang ada AC karena si bayi Aubrey juara bertahan lomba keringetan alias gampang banget kenapasan, jadi kami lanjut lagi keliling cari hotel yang lain. Beberapa ratus meter dari Villa Monyet ada Sunrise Resort yang tampaknya penginapan paling besar di daerah Batu Karas untuk saat ini. Dibanding Villa Monyet, Sunrise Resort memang lebih modern. Di kamarnya ada TV, ada AC, tempat tidur berseprai putih dengan selimut dan bantal yang menul-menul, tak lupa kamar mandi dengan keramik putih mengkilat.

“Nah, yang kaya gini dong” kata Remi dan Icha.

“Ih, elo…endonesa banget sih. Villa Monyet dong. Eksotis kayu-kayuan, anginnya organik gak pake AC. Selera bule, dong” gue berkata sambil jumawa kibas-kibas rambut. Selera bule wasaile.

Karena gue bertahan untuk nginep di Villa Monyet dan bokap maunya kami semua nginep rame-rame akhirnya Villa Monyet lah yang jadi juara. Gue, Mikko, Kai dan Sami ambil kamar untuk empat orang. Sementara sisa rombongan numplek di family room yang bisa mengakomodasi 9 orang. Eh, pas udah check-in baru dikabari kalau ternyata family roomnya sudah direservasi untuk keesokan harinya jadi rombongan Remi dan bokap cuma semalam aja di Villa Monyet dan besoknya mereka pindah ke Sunrise Resort. Remi dan Icha diem-diem tersenyum gembira.

10408710_10152675134631588_2652363121828490199_n

1557501_10152675134866588_3081116336940764446_n

Begitu urusan check-in selesai, kami langsung menuju pantai karena ada dua bocah yang udah gak sabar banget mau berenang di laut. Dari Villa Monyet tinggal menyebrang jalan aja untuk sampai ke pantai. Pantainya sepi dan ombaknya tidak terlalu besar, cocok banget untuk yang bawa anak. Seneng banget lah selama di pantai. Kai dan Sami bergantian digendong ompung masuk ke air. Hatiku kan jadi hangat.

1491690_10152675154056588_7829965826617116082_n

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Menjelang magrib barulah kami beranjak dari pantai. Mandi-mandi, sholat, dan siap buat makan malam. Niatnya mau naik mobil cari tempat makan. Lha, tapi….kunci mobilnya dimana ya? Dicari ke sana kemari tidak ketemu. Koper dibongkar, tas diobrak-abrik, entah dimana kedua kunci mobil kami. Iya, DUA! Dua kunci mobil ilang berbarengan!

Dan Remi pun mulai menyadari

“Apa tadi gue berenang di laut sambil bawa kunci ya? Duh, kayanya iya deh. Gue inget banget pas mau ke laut gue liat kunci mobil di meja, trus gue mikir ‘Gue bawa aja deh, daripada ilang’. Niatnya sebelum berenang mau gue titipin ibu dulu tapi terus gue lupaaaa”

Oh My DiJe! Adek gueeeeeeee! Kenapa keluarga kami ini kayanya turunan bodor dan pelupa semua?

Kami pun lantas sibuk mencari-cari kunci mobil di pantai. Sampai minta tolong orang lokal buat nyelam (pakai alat snorkel) dan mencari kuncinya di dasar laut. Tapi waktu itu udah menjelang isya. Udah gelap banget. Udah susah mau liat apapun.

Sibuk banget deh kami bikin rencana waktu itu. Mau minta tolong sepupu buat ambil kunci cadangan di rumah trus dianterin ke Batu Karas. Ada juga ide untuk manggil orang lokal yang katanya ahli mencongkel jendela karena di dalam laci mobil ada juga kunci cadangan. Masalahnya… orang tersebut cuma jago nyongkel tai gak bisa masang balik jendelanya. Lha, jadi nanti perjalanan ke jakarta jendelanya ngoblong dong? Full AC banget ntar mobilnya. Angin cepoi-cepoi.

Lagi sibuk mikir begitu tiba-tiba datanglah seorang bapak menghampiri Icha. “Cari apa, neng?” beliau bertanya. Beberapa saat terlihat mereka berbicara dan kemudian Icha datang membawa kabar.

“Ma…mamaaaa…” Icha memanggil nyokap gue. “Masa katanya bapak itu mau bantu cari kunci kita. Katanya dia bisa, ma. Katanya dia orang pinter. Dia tanya kita mau bayar berapa”

Iiihh…apaan sih orang pinter-orang pinter? Awalnya kami berpikir begitu tapi kemudian Remi iseng tanya sama orang Villa Monyet, bapak itu siapa? Emang beneran “pinter”? Sama salah satu pekerja dibilang iya. Iya dia orang pinter. Suka bantu tamu-tamu yang ada masalah. Salah satunya ya masalah barang hilang.

Keraguan masih ada di kepala kami tapi nyokap sudah bertitah buat nerima tawaran si bapak. Terserahlah caranya, kalo ada yang mau bantu cari biarkan aja, kalo ketemu ya dibayar kalo gak ketemu pun kita ‘kan gak rugi juga. Kata nyokap.

Mulai deh si bapak beraksi. Minta kembang lah tembakau lah dan Sprite. Gue, Rima, Osi dan Mikko cekakak cekikik terus kerjaannya ngeliat aksinya si bapak pintar.

“Do you know what this guy is doing?” Mikko bertanya kepada seorang turis asing yang malam itu juga lagi nongkrong di ruang makan Villa Monyet.

“Gak. Emang dese lagi ngapain?” tanya si bule dan Mikko pun menjelaskan sambil cekikan soal bencana kehilangan kunci kami dan bagaimana kami akhirnya berserah pada orang pintar yang katanya bisa mengembalikan kunci mobil dengan kekuatan mejik.

“Bisa pada diem gak?” tiba-tiba si bapak pintar berseru ke kami yang makin lama keliatan makin ganggu.

“Berisik. Terganggu di sini udaranya” si bapak ngomel-ngomel sambil berjalan meninggalkan kami.

“Mau kemana dia, mas?” gue bertanya kepada salah satu orang Villa Monyet.

“Ke laut kayaknya. Tauk tuh. Katanya energi dia kehalang di sini. Mau langsung aja ke laut” mendengar itu kami malah makin histeris ketawa-ketawa.

Gak lama si orang pintar kembali ke ruang makan. Di halaman depan kami dia lantas pasang aksi tebar-tebar bunga. Berikutnya beliau mengocok sebotol sprite dan menyembuekan sodanya ke udara. Tentu saja sodanya muncrat kemana-mana. Termasuk ke muka kami.

“What the hell….” kata Mikko sambil sebel melihat ulah si bapak

“Tuh” kata si bapak pintar sambil menunjuk tanah dan di situlah kami melihat kunci mobilnya Rima tergeletak.

“HOLY SHIIIIIT” Mikko berteriak

“What? What just happened? Aya naon?” si bule asing ikut teriak-teriak ingin tau.

“Kuncinya ketemu! Muncul dari tanah” Mikko kembali berteriak.

“IMPOSSIBRU!” balas si bule asing gak kalah histeris.

Dari yang tadinya ketawa meremehkan kami semua tiba-tiba terdiam. Terpana liat kunci mobil yang semalaman ini kami cari-cari.

Dari yang tadinya sinis, eh sekarang kami malah sibuk cium tangan si orang pinter. Maapin, Pak. Maapin tadi udah berisik.

Ta..ta…tapiii…kok kuncinya cuma satu, Pak? Kan yang ilang dua? Icha bertanya.

“Lha, eneng gak bilang. Eneng bilangnya cuma kunci ilang aja. Yang bisa sayang dapetin ya yang ini karena saya emang nyarinya satu kunci”

“Ah, masa sih, Pak? Cariin satu lagi doooong”

Si bapak bolak balik menolak untuk “memunculkan” kunci yang kedua. Katanya dia udah capek. Energinya udah abis semua untuk aksi sulap barusan tadi. Ntar aja besok lagi dicoba, begitu katanya.

Kami pun membiarkan si bapak berlalu setelah sebelumnya menyelipkan 500 ribu ke tangan si bapak pintar ini. Hasil ngorek sana sini karena emang udah tiris uang cash karena belum sempet mampir ATM.

Lumayan, lah, ya ketemu satu kunci mobil. Paling gak besok satu mobil aja yang pulang ke jakarta dengan jendela bolong. “Yang sial ‘kan mobilnya Papa sama Mama” kata si Remi terkekeh-kekeh sambil disambut gelegar tawa gue dan Rima. Kami emang anak durhaka.

Nah, keajaiban kedua ternyata muncul lagi malam itu.

Gak lama setelah si orang pintar pergi, kami dapat kabar dari orang hotel kalau ada nelayan yang menemukan kunci mobil di laut. Bisa jadi itu punya kami.

Wuussh, dengan diantar orang hotel, Remi dan Mikko pergi ke rumah nelayan tersebut sambil membawa uang 140 ribu, hasil ngerogoh tas terakhir buat mencari lembaran-lembaran uang. Kan gak enak. Masa si “orang pintar” kita kasih 500 ribu tapi buat pak nelayan cuma 140 ribu? Tapi kami udah benar-benar kehabisan uang cash waktu itu.

Dalam setengah jam Mikko dan Remi kembali sambil membawa kunci mobil nyokap. Benar ternyata, nelayan tersebut menemukan kunci mobil kami ketika lagi menjala ikan di laut. Berhubung berita kehilangan kunci kami sudah menyebar di seantero Batu Karas, jadinya ada aja orang yang menyampaikan kabar baik ini ke Villa Monyet. Alhamdulliah banget gak, sih?

Sepulangnya ke Villa Monyet Mikko pun berteori. “Jadi begini, sayang. Si orang pintar itu tadi pasti penipu. Mungkin Remi menjatuhkan kuncinya di sekitar pantai dan mungkin dia menemukannya atau ada yang menemukannya dan terus bekerja sama dengan dia untuk menipu kita”

“Akting jampi-jampi dia pasti cuma eksyen aja. Tadi kan kita lagi ketawa-ketawa. Ada gak yang beneran merhatiin tanah waktu dia nyiram sprite? Pasti dia udah meletakkan kunci kita di tanah waktu kita gak ngeliat. Kemudian dia bikin show siram-siram sprite dan terus dia bilang kalau dia berhasil memunculkan kuncinya dari dalam tanah. Karena lagi desperate kita percaya aja waktu itu”

Dengan muka sedih Mikko menambahkan “Pada akhirnya yang menipu dapet 500 ribu dan untuk nelayan yang jujur itu kita cuma bisa kasih 140 ribu”

Sudah malam sekali waktu itu dan kami belum makan malam. Mau pergi ke luar udah keburu capek. Mau makan di villa tapi restonya udah tutup. Pada akhirnya  kami kasbon ke Villa Monyet minta dibelikan nasi goreng dari sebrang jalan. Ya, maklum, uang cash udah bener-bener gak bersisa.

Besoknya rencana kami untuk menyambangi Green Canyon alhamdulillah bisa terwujud dengan kembalinya dua kunci mobil kesayangan. Mampir ATM dulu, mampir pasar dulu beli celana renang, dan kemudian berseru-seruan di Green Canyon.

Gue gak nemuin foto-foto ciamik di internet tentang Green Canyon. Jadinya gue rada underestimate sama tempat satu ini. Tapi pas udah ngalamin sendiri keseruannya, melihat sendiri keindahan alamnya, petualangan kami di Green Canyon waktu itu jadi liburan paling the best yang pernah gue alami.

Salah satu alasannya karena waktu itu udah lama sekali rasanya gak pernah jalan-jalan sekeluarga bareng bokap, nyokap dan adek-adek gue. Waktu itu juga gue ngeliat gimana bokap keliatan luar biasa bahagia. Bokap gue itu suka banget sama acara jalan-jalan keluarga, suka banget road trip, perjalanan ke Batu Karas kemarin itu tentunya bener-bener bikin dia happy.

Dan siapa sangka, ternyata itu liburan gue terakhir sama bokap karena tepat setahun setelahnya bokap meninggal. Mengenang-ngenang Batu Karas pasti bikin air mata gue menetes tapi juga ada kebahagian yang menyelip di hati tiap kali mengenang kami sekeluarga berkumpul di balkon family room Villa Monyet. Bokap yang tidur-tiduran di hammock sambil peluk Sami, nyokap yang bolak balik minta difoto sama cucu, bokap yang gendong anak-anak menerjang ombak, kami semua yang berteriak-teriak kasih semangat supaya Osi berani terjun ke sungai, one of the best highlights of my life for sure.

Makanya, buat gue Batu Karas memang magical karena liburannya memang sangat menyenangkan sekaligus sedikit klenik.

Sebagai penutup, gue sampaikan pesan teman gue yang turut terpana mendengar cerita Batu Karas ini “Jadi pesan moralnya, kalo ada barang ilang jangan lupa sediakan Sprite.”

Pertanyaannya: kalo Sprite lagi kosong boleh ganti Fanta gak?

1012976_10152678354616588_5749955225283891446_n

10933988_10152678376041588_3448052560089778189_n

10931318_10152678372746588_4166370079216615260_n10933876_10152678347501588_8469017316600195192_n

PS: foto-foto Batu Karas hilang raib entah kemana. Yang tampil di sini diambil dari facebook. Sampe mau sujud syukur rasanya sempet upload beberapa foto di facebook, terutama yang ada bokap

PPS: kalau browse foto-foto Green Canyon di internet kayanya jarang banget ada yang bagus sampe bikin gue wow. Kebanyakan fotonya bernada coklat-coklat gelap, samalah kaya foto-foto gue di atas. Tapi aslinya,…kalo diliat dengan mata sendiri Green Canyon ini indah sekaliiii

PPS: kira-kira 10 tahun lalu Green Canyon masih sepi pengunjung. Kebanyakan turisnya bule-bule yang mencari pemandangan alam liar. Di kala itu gak ada puluhan kapal bermotor seperti sekarang yang siap melaju menuju ngarai. Jaman dulu itu turis-turis dibawa mengarugi sungai dengan sampan atau kano. Karena suasananya masih tenang, di sekitar ngarai banyak ditemui binatang liar tapi binatang-binatang tersebut sekarang udah terusir akibat kapal-kapal motor berisik dan jumlah turis yang membludak. Cerita ini tentunya gue dengar dari Mikko yang berdeklamasi dengan muka sedih. Tourism ruins everything. Padahal yang ngomong sendirinya juga turis. Berat ya dilema kehidupan.

PPPS: Waktu lagi sibuk cari-cari kunci di pantai, gue ngeliat ada tampang-tampang familiar. Sacha Stevenson rupanya, youtuber idolakuh. Ternyata dia juga lagi nginep di Villa Monyet. Mau foto bareng tapi waktu itu lagi panik gegara kunci ilang. Besoknya ngeliat dia lagi di ruang makan Villa Monyet tapi gimana dong…aku mah anaknya pemalu.

PPPPS: Kenapa PSnya banyak sekali?

PPPPPS: Saking gak tahannya sama perjalanan darat 10 jam, gue, Mikko dan anak-anak memutuskan untuk mencicil perjalanan pulang menjadi Batu Karas – Garut – Bandung dan Jakarta. Bokap berbaik hati mengantar kami ke Garut, ke Kampung Sampireun, sebelum beliau dan sisa rombongan lanjut lagi perjalanan ke Jakarta karena besok Senin sudah harus masuk kerja. Buat gue Batu Karas dan Green Canyon bener-bener destinasi yang patut dikunjungi. Pantainya bagus, gak terlalu ramai, penginapan murah, dan main-main di Green Canyon serunya bukan main. Tapi….kayanya gak lagi-lagi deh kami berkunjung ke sana kalau masih harus menempuh perjalanan naik mobil sampai lumutan. Gak kuaaaaaaat.

31 comments

  1. PS-nya banyak banget mbaaakk.. Ahahaha noted! Green Canyon harus dilihat dengan mata kepala sendiri 😍

    1. Kalo liat foto Green Canyon terkesan gelap-gelap sendu. Emang gelap sih tapi sekaligus indah

  2. Muhahaha si bapak capeeek! Enerhinya habes kesedot tawa membahana para penonton. Ah amatir lu Pak! *disemprot Fanta*

    1. Emang kalo abis sandiwara suka lelah, hahahahhahaha

  3. duhhh aku juga cukup sekali dehh ke Green Canyon, gak kuat sama perjalanannya…lama bangeeet! Eh kalo gak salah bisa naek pesawat susi air ke Batu karas, tapi ya harga tiketnya udah hampir sama kayak ke Bali hihihi

    1. Tapi aku takuuuut naik Susi Air. Pesawat kecil baling-baling kan kalo ga salah?

      1. hehehe iya siih mba pesawat kecil baling-baling gituu, paling isinya cuma 10-12 orang doank 😀

  4. Yuhuuuuu cuma Om Mikko yang gak pake pelampung 😀

    1. Om Mikko jumawa. Katanya doi jago berenang, gak perlu pelampung. Zzzzz……

  5. Fotonya ilang coba cari si bapak klenik Ka, mungkin bisa nemu hihihihi

    1. Hahahahahahahahaa….Noniiiiiiii.
      Bentar yaaa…beli sprite dulu

  6. 500 rb omaigot mahal amat jasa semprot si bapak pinter ya mbaa. Temen dulu juga ada yg ilang kunci mobil berhari-hari dan anehnya ketemu di dalam sumur oleh paranormal. haihhh daku takutnya jadi sirik mba.

    1. ya sama….percaya begituan kan takut sirik. Tapi pas kuncinya “muncul dari tanah” hati ini bergetar juga. Untung cuma sebentar sih, abis itu ketawa lagi kalo inget si orang pinter

  7. Aku aku rumahku dekat batu karas mbaaak, 20 menitan lah Dari green canyon, kalau dari green canyon setelah jembatan batu karas kan ke kiri, naah rumahku yang ke arah kanannya. Batu karas sama green canyonmah tempat main akuh sedari kecil Mbak, sampe segede ini pun kalau mudik ya mainnya ke batu karas, hihihi
    Batu karas lebih sepi daripada pangandaran, yang udah crowded banget tapi emang tapi penginapannya terbatas, paling yang lumayan Java cove ama sunrise, bahkan kemarin aku honeymoon desember di sunrise hotel nginepnya Mbak, hahahhaah?
    Baca posting an ini sambil mesem mesem ngebayangin tmpat2 yang disebutin Mbak, kalau ke sana lagi kabar kabari ya Mbak, Siapa tahu aku juga pas lagi mudik, aku pengen ketemu ama sami sama kaii, fans berat ini, hihihi

    1. Halooooo, anak Batu Karas. Aku cinta banget loh sama pantainya soalnya bersih dan sama sekali gak rame. Beda banget sama Pangandaran. Dan Green Canyon…..laf banget lah. Dan tentunya Villa Monyet dengan rumah lumbungnya yang cantik dan berbunga-bunga. Kalo ada kereta mau banget deh sering-sering ke sana. Kalo naik mobil lagi aku tak sanggup.

  8. Rikaaaaa, gegara baca ini aku baca ulang yang kami ke Batu Karas tahun 2013 sekalian Pangandaran itu, dari Bandung 6 jam sih tapi jalannya juga jelek waktu itu tetap menderita juga, tapi beneran yaaa kebayar sama di sana. Di luar ekspektasi kami juga, tempat itu kekeceannya dan kulihat hasil foto foto kami emang gak ada yang kece juga sih. (yah emang gak bisa moto bagus juga kami hahaha) Di pantainya itu Rik, beli seafood yang bisa dimakan dibawa ke pantai sekalians ewa tikar pas tahun 2013 itu 500 ribu doang sampe buncittttt sepuasnya ya ampuun aku jadi kangeen makan seafood di sini aku gak makan udang mahal banget beli yang frozen ogak yg fresh harga dufan hiks

    1. Yaaah….kok kami gak tau ya soal seafood pinggir pantai ini. Mungkin karena terlalu sibuk nonton paranormal, hahahahahahhahaha. Malah kami makan seafood di Pangandaran. Tapi kalo soal pantai Batu Karas jauuuuhh lebih cantik daripada Pangandaran.
      Tapi tetep sih,….kalo ke sananya masih harus pake nyetir 10 jam, gue belon ada keinginan buat balik lagi.

      1. Iya mbak Rika..daerah situ terkenal seafoodnya..tp berhub emak alergi seafood klo kesana makannya tetep klo ga warung soto ya rm padang..haha

  9. Tumben mintanya sprite biasanya kopi item pait. Ihhh padahal orang pinter harusnya minum tolak angin ya ka.

    1. Kalo kopi gak bisa disembur. Kurang sensasional nanti eksyennya.

  10. Aaak Batu Karas mainan waktu mudaaa… Berhubung gw suka banget pantai dan pantai terdekat yang mumpuni adalah Batu Karas, jadi sering banget kesana. Tapi kok gw ga terlalu terkesan sama Green Canyon ya, menurut gw mirip video clip Michael Bolton yang I’ve I love you belalaiii…
    Eh btw si Sacha Stevenson itu kan emang tbeli tanah di sekitar Batu Karas. Gw nonton youtube-nya dia ngejogrok di bawah pohon kelapa 😀

    1. Dari Jakarta, Dit? Oh Em Jiiiii, kuat amat looo. Tapi mungkin kalo masih jaman muda dulu gue kuat aja loh jalan kemana pun juga asalkan rame-rame.

      Gue pada dasarnya bukan anak pantai sih. Lebih suka tempat2 yang adem dan ijo, makanya suka banget sama Green Canyon. Waktu matahari bersinar di sela-sela ngarainya dan terus ada suara burung cuit-cuit, gue sampe terpesona loh.

  11. Ka, itu berjam jam di mobil anak2 dijejelin apa biar anteng?? Gw nyerah banget deh jalan jauh2 pake mobil. Dr Srengseng ke PIM aja lelah setengah mati ngibur bocah. Mohon petunjuk nya dong?
    Bagus banget ya Grand Canyon gw liat temen gw yg plesiran kesono tp ya kek nya nunggu anak gede aja lah. Itu ilang konci segala cm untung bgt ketemu yaaa msh rejeki bgt!!

    1. Gue sebenernya gak gitu inget gimana nasib anak-anak selama perjalanan 10 jam itu. Terlalu traumatis sampe gue repress kayanya 😀
      Yang gue inget Sami sempet muntah di mobil dan Kai bilang kepalanya pusing sampe akhirnya ketiduran. Ya äiti juga pusying banget itu gak nyampe-nyampe.

      Lha, gue pernah sekali ajak anak-anak ke Ancol. Pernjalanan BSD-Ancol aja udah bikin gue tobaaaat….tobaaaaaat

      1. Ohh bagian itu disensor ya hahaha makanya gw mbatin, masya Allah rika sakti amat bs bawa bocah2 naek mobil 10 jam…gue ini cemen amat klo dibandingin ma rika! Aduh ke Ancol pun kayaknya berani pergi ga berani pulang, huahaha! salut gue rika! 🙂

  12. Dulu pas masih sd ada kayaknya 5 kali ke pangandaran ma batu karas krn sekolah bokap hobi piknik kesitu dan sekeluarga jd numpang ikut hehe..tp green canyon baru sekali..abis sd bokap pindah ngajar tempat piknik pun ganti haha…

    Itu duo Kai dan Sami hebat bs anteng 10 jam d jalan..keren..
    Hihhlightnya emang pas kunci ilang dan nelayannya baik bangett moga rejekinya melimpah abis itu

    1. kalo piknik sama sekolahan artinya naik bis besar dong ya?
      Mungkin kalo di bis besar aku bisa lebih betah kali ya soalnya ruangannya lebih besar dan gak berasa terkurung di ruang sempit seperti kaya naik mobil.

      Itu 10 jamnya gak anteng koook. Emak babenya olah raga mulut mulu menghibur bocah.

      1. Tergantung mbak..banyak yg jackpot muntah jg murid2 nya bapak..emang plg enak kereta..mgkn klo mau kesitu bs naik krreta turun tasik trs nyambung mobil mgkn ya..sotoy saya

  13. Gue langsung kebayang itu dukun, kenapa lu kagak foto sih dukunnya buat kenang-kenangan. Kan lumayan kalo dia eksis di blog sini, Rik! Seperti biasa, gue baca ceritalu kemanapun, pasti bikin ngakak dan mules. Seneng aja elu selalu menemukan cara supaya bisa hepi ditengah kepanikan dan kestressan.

    1. iya loh, le….kalo gue travel kok ada aja kejadian2 sialnya tapi di kemudian hari ternyata yang sial2 ini malah jadi bahan ketawaan. Ujung-ujungnya malah jadi berkah, berkah kenangan.

  14. Aku doakan semoga rejeki mbak Rika dan suami lancar terus supaya makin banyak cerita jalan2nya. Selalu lucu dan seru.

Leave a reply to seerika Cancel reply