psikologi ui dan esq

Hari ini di pengajian bulanan ada presentasi tentang training ESQ yang ngetop banget di Indonesia itu. Rencananya kader-kader ESQ dari Belanda akan menyelenggarakan training ESQ di Helsinki bulan Mei nanti dan pendaftaran untuk trainingnya sudah dibuka mulai hari ini.

Di awal presentasi ditampilkan flash slide bergambar rancu, taulah….gambar yang awalnya keliatan seperti rambut model pas dideketin ternyata bulu anjing, atau gambar yang keliatan seperti tikus pas diperhatiin lagi ternyata muka orang. Ngerti maksud gue kan?

Aaahhh…ngomongin persepsi rupanya. Sebagai mantan anak psiko yang kaya ginian mah udah ngelotok di otak gue *sombong*, kagak perlulah gue ikut-ikut training ini lagi secara 4 tahun kuliah di psiko ya tiap hari rasanya seperti ngikutin modul training aja.

Tapi gue sungguh terpenasaran sama testimoni kader-kader tadi tentang betapa training ESQ ini mengubah hidup mereka, baik dalam visi, misi dan tindakan. Sepowerful itukah trainingnya?

Nah, kalo ngomongin soal perubahan hidup, kembali gue teringat akan kampus Psikologi UI tercinta. Betapa kuliah psikologi drastis mengubah hidup gue dan diri gue sebagai seorang manusia (tsaaaaahh).

Gue pernah baca bahwa jawaban paling umum untuk pertanyaan: “kenapa kamu pilih jurusan piskologi” adalah “karena saya ingin mengenal diri saya sendiri dengan lebih baik lagi” Jawaban standar banget ini. Basi bangetlah katanya.

Kisah gue sendiri bisa nyemplung di kampus psiko sebenernya agak panjang. Jaman SMA gue ingin sekali masuk arsitektur, harus UI, karena gue gak mau keluar Jakarta dan karena kalo swasta katanya mahal banget. Lupakanlah fakta kalo nilai fisika gue jeblok, kalkulus gak pernah ngerti, gambar mekanik pontennya merah terus.

Begitu hasil UMPTN diumumkan….gak masuk aja dong kakaaaaak. Keterimanya di FKM UI. Apapula itu FKM UI? Asli aku pun tak tahu. Waktu itu milih FKM karena DISURUH sama pembimbing BTA gue. Sungguh alasan yang amit-amit banget sebenarnya untuk memilih jurusan kuliah yang mungkin akan menentukan hidup gue puluhan tahun ke depan.

Setahun gue kuliah di FKM UI dengan muka cemberut, lebih banyak bolosnya daripada masuknya, selalu iri liat anak-anak arsi dengan tabung gambarnya dan paling sebel kalo ada yang nanya FKM apaan sih? Fakultas Kesehatan Masyarakat. Oh, jadi dokter? Bukan. Ooohhh…jadi mantri gitu ya???? Diumur yang masih piyik-piyik itu sungguh gue merasakan popularitas jurusan itu sangatlah penting buat penyemangat kuliah. Dangkal emang ya? Namanya juga ABG. No offese buat mahasiswa FKM ya, ini cuma perasaan gue waktu itu aja, sekarang setelah keluar dari FKM gue justru jadi lebih mengenali apa itu FKM dan kepentingannya.

Eniwei, rekor bolos gue susah ditandingi di FKM kecuali untuk mata kuliah Psikologi Dasar, dimana pengajarnya adalah dosen tamu dari Fakultas Psikologi UI. Di semester kedua gue tambah sering bolos kecuali untuk mata kuliah Dinamika Kelompok, yang pengajarnya lagi-lagi dari Psikologi UI. Eeehh…dua mata kuliah aja udah bikin gue seneng, kalo setiap hari belajar yang beginian mungkin gue betah kali ya? Pindah ke Psiko aaaaaaah….

Maka dari itu gue pun ikutan UMPTN untuk kedua kalinya dengan pilihan pertama Akutansi UI atas permintaan dari bokap  (katanya gak mungkin lulusan akutansi gak dapet kerja, jurusan paling oke sedunia kalo menurut bokap gue) dan pilihan kedua Psikologi UI yang merupakan pilihan hati sendiri. Ciyeeeeee…pilihan hati ni yeeee.

Singkat cerita gue masuk psiko UI dan oh-so-true, gue sukaaaaa mata kuliahnya. Tiap belajar tentang persepsi, atribusi, konformitas, dll nya tinggal ambil diri sendiri aja sebagai contoh. Gak berhenti berkata ” Oh, ternyata gue tuh begini, ternyata gue tuh begitu”

Klise memang, tapi gue suka karena belajar psikologi membuat gue mengenali diri gue sendiri dengan lebih baik, bahkan, in some ways, gue merasa lebih bahagia setelah masuk kampus psiko ini. Singkatnya, kuliah di psiko merubah hidup gue.

Buat yang mengenal gue pra-psiko ui, gue ini orangnya haha hihi aja sebenarnya. Manut, penurut dan gak banyak cing cong. Anak manis sekalilah pokonya, bahkan cenderung gampang di bully. Masuk psiko gue kagum ngeliat temen-temen yang terlihat bebas lepas sekali. Punya banyak cerita, banyak inisiatif, berani mengungkapkan pendapat, berani bilang ” Gak”, dll. Sementara sampai semester kedua temen-temen gak tau kalo gue punya adik bernama Rima saking gue jarang banget cerita tentang keluarga. Bilang ” Gak” ke orang lain mah boro-boro, gue selalu berpikir dosa besar banget kalo sampai ada kata ” Tidak” dalam sebuah pertemanan.  Jadi sebenernya gue ini berteman dengan penuh rasa insecure.

Hal-hal kecil kaya gini yang gue maksud dengan “merubah hidup gue”, di kampus psiko gue belajar untuk jadi orang yang lebih terbuka, dan ternyata enak juga loh…jadi punya banyak cerita. Dulu-dulu kan gue selalu jadi pendengar aja dan ga pernah jadi pembicara, ternyata setelah sering ngobrol ketauan kalo gue punya bakat melawak (atau bodor sih kalo kata Riana, hahahhahaha)

Di psiko juga gue yang tadinya konformis total ini belajar untuk mengeluarkan warna aslinya. Secara empiris sudah terbukti ya bo kalo jadi konformis terus makan ati juga. Tapi di psiko juga gue belajar tentang empati. Pasti udah pada tau dong ya empati itu apa….tapi asli deeehhh…gue denger kata empati pertama kali ya pas kuliah psiko dulu itu. Dari mulai masuk sampe keluar tiap hari digempur terus dengan doktrin harus empati, harus empati, harus empati. Namanyapun calon psikolog ya, kemampuan berempati ini konon sangatlah penting dimiliki oleh seorang psikolog.

Gak kerasa ternyata dalam kehidupan sehari-hari doktrin empati ini suka kebawa di otak gue dan buat gue keinginan untuk berempati membantu gue untuk mengenal orang lain dengan lebih baik. Dengan berempati gue jadi tau kalo banyak hal di dunia ini gak sekedar hitam dan putih, ada banyak abu-abu di anataranya. Dengan berempati gue belajar untuk lebih terbuka terhadap perbedaan dan cara pikir orang lain.

Tsaaahhhh…sudahlah makin mengenal diri sendiri sekarang ditambah lagi dengan kemampuan mengenali karakter orang lain. Macam ahli kejiwaan aja omongan gue ini.

Banyak lagi hasil belajar di kampus psiko yang membuat perubahan dalam hidup gue, sampai ke hal-hal teknis seperti gimana caranya membuat presentasi yang bagus, menyusun kalimat yang lebih operasional agar mudah dimengerti, dan lain-lainnya yang kalo dijabar di sini sampe Bang Thoyyib pulang pun gak bakal selesai. Yang jelas gue ngerasa setelah masuk psiko UI gue jadi lebih bahagia, lebih true to myself, lebih tau kekurangan dan kelebihan gue sendiri, lebih tau apa yang gue mau, gue suka atau gue gak suka, lebih bisa mengekspresikan diri, lebih bisa menerima perbedaan, lebih optimistik, lebih pede dan less insecure, pokonya I am ready to take the world (lebaaaaaaaayyyyyy). Kuliah psikologi jelas salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup gue.

Ada seseorang yang mengeluh ke gue katanya setelah masuk psiko gue jadi beda. Sorry ya jek, gue beda karena gak bisa dibully lagi. Dari dulu gue ngerasa kenapa hubungan gue sama orang ini kok bikin resah gelisah hati ini, lama-lama gue menyadari kalo hubungan kami kadang seperti pem-bully dan korban bully. Memang sih doi gak ada maksud untuk mem-bully dan seharusnya gue terus terang aja kalo gue punya keberatan-keberatan atas doi mengingat kami ini waktu itu teman dekat. Tapi namanya juga gadis insecure takut konfrontasi, manalah sanggup gue bicara.

Gue bukannya songong mau bilang kalo jurusan psikologi adalah yang terbaik, kalo cuma anak psiko yang paling jago berempati, paling mengenali dirinya sendiri, punya hubungan yang baik dengan orang lain….weleh weleehhhh….gak segitunya itu siiihhh. Orang lain juga bisa kaleeeeeeeee. Kebanyakan ilmu yang gue dapet di psiko sebenernya diangkat dari fenomena sehari-hari yang bisa kita pelajari sendiri, tapi seringnya kelewat. Karena itu gue merasa beruntung punya waktu lebih dari 4 tahun untuk mempelajarinya.

Trus gunanya kuliah di psiko apa dong?

Yah, buat gue yang tadinya clueless banget tentang diri sendiri dan manusia pada umumnya, ilmu yang gue dapat di kampus psiko membantu sekali untuk membangun hubungan yang lebih baik antara gue dan orang lain, dan lebih penting lagi, antara gue dan diri gue sendiri. Rika yang dulu adalah Rika yang timid, pendiam, pemalu sangat takut konfrontasi, takut sama orang, dan gak bakal mungkin punya blog seperti sekarang saking malunya untuk bercerita. Sekarang gue punya loh blog khusus katarsis…hwahahahahahahaaha….dulu mah gue bakal berucap “Masya allaaaaaaaahhhhhh. Harus sabar, harus ikhlas” Sekarang gue menyadari sekali kalo katarsis itu perlu bok kalo gak mau pecah kepala ini. Termasuk juga punya sesi-sesi katarsis bersama Vera, Dite atau April kalo lagi sebel sama suami. Tiap abis berantem trus ngeliat gue chatting sama Vera pasti Mikko bilang “Pasti lagi complain tentang aku ya” hihihihihi, suami tau ajaaaaaaa. Lebih tepatnya, kalo mengacu ke textbook psikologi, mengeluhkan sifat dan tindakannya, bukan orangnya. Don’t hate the person, hate the behaviour. Buat gue ya jelas suami ini paling oke sejagad raya, tapi gak mau boong kalo ada satu dua (tiga empat) sifatnya yang bikin gue nyakar-nyakar tembok.

Nah, kembali ke paragraf pertama, gue tertarik sekali mendengar testimoni orang-orang yang bilang training ESQ merubah hidup mereka. Akankah pengalaman kuliah di psiko UI terulang lagi kalo gue ikut training ini? Apalagi ya,….traning ini kan dikemas dalam bentuk yang islami, yang insya allah akan membantu kita menjadi seorang muslim yang lebih baik lagi. Sebagaimana yang pemirsa ketahui bahwasanya kadar keimanan seseorang selalu ada naik turunnya, dan tinggal jauh dari gema azan begini bikin gue merindukan sesuatu yang bisa menyentil hati gue. ESQ kah jawabannya?

Tapi terus terang aja yaaaaa….gue sangat skeptis dengan training-training seperti ini. Loh, orang psikologi kok benci training? Eh kagak boookk…gue ini banci training sebenarnya, tapi training yang spesifik dan tepat sasaran seperti training presentasi, training menggunakan SPSS, training menulis kreatif, training parenting style untuk multiculture family, dllnya, you get the idea. Buat gue training macam ini lebih believeable, visi dan misinya lebih jelas, dan resultnya lebih mudah diukur. Nah, ESQ ini kan menjanjikan peningkatan dalam kecerdasan intelektual, emosional dan spiritua,l yang katanya akan merubah hidup kita, hanya dalam 3 hari. Masa sih? Sedahsyat itu kah?

Dan satu hal yang mengganjal buat gue, si ESQ ini komersial sekali yaaaa. Dengan lisensi dan kaderisasinya, belum lagi ikonisasi tokoh pendirinya, lagu-lagu tema esqnya, semboyan-semboyan khususnya, sampe kebanggaan 165nya …. yaddaaa… yaddaaa … yadaaaa … yang kaya beginian sungguh sebenernya bikin gue eneg. Mengingat training ini seharga 150 euro perorang benci banget rasanya kalo harus terjebak dalam perangkap komersialisasi. Apalagi untuk sesuatu yang gue curiga standar-standar aja tapi dikemas dengan menggebu-gebu, dibubuhin ajaran-ajaran islami, sehingga terkesan luar biasa sekali.

Apalagi-apalagi nih ya boooookk….katanya bakal ada sesi bertangis-tangisan di ruang gelap dimana kita disuruh mengingat dosa-dosa sepanjang masa sampe sesunggukan. Ampun dijeeee….macam malam penutupan ospek aja pun. Bukannya gue gak nyaman bertangis-tangisan, gue mah tipe yang dikit-dikit mewek sebenernya, tapi gue benci sekali acara nangis yang dipaksakan.

Gue skeptis banget ya? Embeeeerrrrrrrrrrr….gue udah suudzon aja sebenernya sama si ESQ ini, ditambah lagi sama promo presentasi mereka yang menurut gue luar biasa buroknya. Bukannya menjelaskan apakah ESQ itu, bagaimana programnya, apa manfaatnya, presentasinya lebih menekankan ke popularitas ESQ, berapa puluh ribu alumninya, berapa negara yang sudah dikunjungi, orang-orang penting yang menjadi trainer dan para pejabat yang pernah ikut training (termasuk didalamnya bapak mentri doyan twitteran Tifat** Sembir***). Kalo bukan karena testimonial orang-orang nyata, orang-orang yang gue kenal di pengajian tadi kagak mungkin gue tertarik sama ESQ.

Dan tadi seorang teman bilang kalo hidayah bisa didapat dimana saja. Biarpun gue gak suka sama komersialisasi ESQ ini, kalo memang bisa mendatangkan hidayah buat gue, gue rela bayar ratusan euro (bujuuuuuugggg..segitunya). Lagipula, gue cukup tergugah ketika tadi ada yang menjelaskan tentang zero mind process (cmiiw), bahwa dalam memulai sesuatu hendaklah kepala dijernihkan dari prasangka, hilangkanlah segala persepsi yang ada. Sesuatu yang rasanya sudah lama tidak gue lakukan.

Jadi…kalo ada yang pernah ikut ESQ atau punya info apapun tentang training ini, tolong bagi-bagi ceritadi sini ya. Apa saja yang dipelajari di training itu? Bagaimana modul trainingnya? Apa manfaatnya? Apakah membawa perubahan dalam hidup lo? Sejauh apa? Apakah hal-hal yang didapat di ESQ bisa didapat juga dari tempat lain atau dengan cara lain?

Pokonya ditunggu info dan rekomendasinya kakaaaaaaaak

31 comments

  1. Rikaaa… Gw baru dpt general psychology aja udah berbunga2. Ngeliat kelas yg aktif dan antusias tu rasanya kenyes kenyes gitu. Ga takut ngeluarin pendapat, ishhhh beda ama jaman gw kuliah sekretaris dulu. Dan kali ini yg ada di otak gw adalah: kalo dulu harus belajar, skrg MAU belajar. Ciyeeehhh.Aku jatuh cintaaaaaa *lebay lalalalala*

    Apalagi professor gw itu tnyt senior HRnya Walmart, langsung dpt vision–> org ini lah yg hrs gw bully buat minta kerjaan nanti. Hihihihiihihih.

    1. Aaaah yg lg jatuh cinta. Pastinya skrg lg masa bulan madu ya. Lg semangat2nya.

      Emang beda bgt kalo melakukan sesuatu karena kita mau dan suka, bkn krn harus. Belajar terasa nyenengin ya.

      Nah, lo sendiri knp skrg ambil psiko? Inspirasinya drmn? Knp dulu kok kulnya sekretaris?

      1. Gw ambil psikologi krn dulu bos2 gw di HR semuanya blg kalo gw sampe balik ke sekolah lagi, coba deh liat2 psikologi. Mereka ngerasa gw punya natural talent disitu. Ciyehhh. Pdhl mereka ngomong pd kesempatan yg beda2 tuh. Gw sempet baca2 kira2 di Psi itu belajar apa, nontonin open coursenya Psi jg di internet, kayaknya kok jd kepincut!

        Dulu UMPTN ga tembus ITB (ya ga sadar diri jg otaknya kurang encer di IPA), trus krn bokap lg bermasalah, nyokap gw langsung radikal nyuruh gw masuk TarQ. Looking back at it, gw cm ngerasa mungkin emang gitu cara gw utk bertemu jodoh. Maktub gituh.

        Btw kakak gw against ESQ krn alasan komersil jg. Spiritualitas ga bs dicapai dgn sekejap, rame2 dan krn diingatkan akan dosa kecuali kalau hanya mencari efek spontan. Spiritualitas seharusnya jadi perjalanan yg sangat personal. I have seen jg temen2 yg nangis2 takut dosa dan mo pake jilbab setelah ESQ, tp kembali ke pribadi yg sama sebulan kemudian. Try it with an open mind, i guess

        1. Gue masih kagum nih, Fi ngeliat elo yang mau sekolah lagi setelah punya anak. Asli gue udah gak kuaaaaaaaat.

          Salah satu penyesalan terbesar gue adalah gak ambil program profesi psikologi. Dari semester satu gue udah tau gue mau jadi psikolog tapi trus keterima program yg di jerman itu dan saking pengennya ke LN gue pilih Jerman, padahal sampe sana programnya melenceng jauuuuuh dari minat gue sampe belajarnya males2an banget. Tapi seperti elo juga, mungkin emagn gitu cara gue ketemu jodoh. Kalo dulu gak ke Jerman gue gak bakal ketemu Mikko.

          Titip salam cium tangan buat kakak lo. Alasannya valid sekali. Sebenernya hal yang sama jg diucapkan Mikko ke gue, tapi gue waktu itu gak mau denger walaupun gue tau dia bener, karena gue udah mau ngambek aja karena dia gak mau ikut nemenin kalo gue ikut trainingnya.

  2. Belum pernah ikutan ESQ karena alasan yang persis sama kayak dirimu, tapi beberapa temen pernah ikutan dan kayaknya mereka bahagia banget selesai2nya. Dipuji2 lah ESQ itu. Mungkin tiap orang beda2 kali ya efeknya.. *bantu ga nih?* 😛

    1. Nah ini dia, puji2an yg setinggi langit ini yg bkn penasaran. Tp mahal bgt sih trainingnya.

  3. Sama, aku juga belum pernah ikutan ESQ. Ngeliat iklan dan promosinya udah bikin males duluan, *apa emang sebenernya aku yang pemalas?* hahahaha… 😀
    Ada juga beberapa orang yg aku kenal ikutan ESQ dan sama kaya Bebe, seneng banget setelahnya, tergantung yang ikut kali yah… 🙂

    1. Iyaaa, byk yg blg trainingnya bagus bgt. Worth the money. Seneng bisa ikut. Tp krg jelasin manfaatnya apa, trainingnya bgmn. Infonya krg lgkp.

      Krn udah komersial bgt jd bkn males. Tp penasaran jg sih

  4. Bokap gue pernah ikut ESQ dibayarin sama kantornya, gratisan gitu… Dan setelah dia slese trening gue tanya apa komentarnya, dijawab “ga ngefek, papa ga suka, apa itu trening disuruh nangis2 bla3” (atau jawaban semacam itu lah). Intinya bokap gue ngerasa kalo trening ESQ itu ga ada gunanya buat dia ahahaha… Terbalik banget sama sepupu2 gue (ponakan2 bokap gue, jadi itu sepupu seumuran sama nyokap gue semua bukan seumuran kita) yang ESQ minded.

    Kayaknya emang balik ke orangnya masing2 ya… Gue pun ga berminat ikut karena gue nyadar gue mirip sama bokap gue, kalo itu ga ngefek di dia kemungkinan besar ga ngefek di gue.

    1. Kabarnya sekarang byk kantor, tmsk instansi pemerintah yang mewajibkan ESQ untuk karyawannya, jd emang sekarang ini lbh byk yg ikutan ESQ secara gratis daripada bayar. Kalo gratis gue juga mau ya booo…itung2 refreshing, cuti masak dan beberes rumah 3 hari.

      Pada dasarnya sih pasti ada sesuatu yang baik yg bisa kita ambil dari setiap training, entah itu sedikit atau byk. Nah, ini gue lagi menimbang-nimbang, dgn 150 euro setinggi apa expectancy gue. Kayanya sih tinggi banget. 150 euro gitu loh. Uang sendiri, eee buseeeettt. Tapi berhubung ada byk atribut2 ESQ yg kayanya ga masuk ke gue, bahkan sebelum gue ikut trainingnya (komersialisasinya dan pastinya tangis2annya), kayanya saat ini gue ngerasa manfaatnnya gak bakalan byk2 amat buat gue

  5. Adek gw pernah ikutan, dulu di kampusnya sempet ada training khusus harga anak mahasiswa. Dia seneng sih tapi klo gw tanya sekarang juga udah lupa.

    Klo tante dan om gw ikutan juga dibayarin kantornya, abis itu muji2 abis & bangga karena sesi tangis2an berjamaah itu. Tapi ga tau ya apa efeknya bertahan apa nggak.

    Gw belum pernah ikut dengan alasan sama persis kaya lo. Di acara ospek yang gratisan dan dipaksa aja gw ga demen acara inget2 dosa&nangis2 yang dipaksakan, apalagi ini musti bayar jutaan rupiah. No way jose.

    Emang jadi ilfil sama training yang promosinya lebih ke berapa ribu lulusannya termasuk pejabat ina itu plus ada janji dalam 3hari dapat mengubah kita bla bla terutama dikaitkan dengan agama yang notabene adalah perjalanan pribadi religius masing2 orang. That’s one thing you can not guarantee, menurut gw (yang sok tau)

    Tapi memang sih hidayah bisa didapet dari mana aja…ga boleh suudzon. Mungkin emang karena ga ada idle moneynya aja kali ya gw ngomong kaya di atas 😛

    Btw klo gw S1 ekonomi, bisa ga sih S2 psiko? *pertanyaan dodol tapi valid*

    1. iya metaaaaaaaa….kenapa ya kok kayanya byk yg menganggap sesi nangis berjamaah ini sesuatu syahrini banget. Gue kan jadi mikir “mau nangis aja kok pake bayar?”

      Beberapakali pas ospek gue juga ikutan nangis berjamaah, tapi PURA-PURA, takut kalo gak nangis nanti dimarahin sama senior. Dan kalo menurut gue sih, nangis yang sampe sejuta umat itu sedikit banyak ada efek ketularanannya, dalam artian ngeliat orang byk nangis jadi bikin kita ikutan nangis juga. Di lain situasi, materi yang sama mungkin gak akan bikin kita nangis.

      Trus juga, gue baca-baca artikel ttg esq ini. Setau gue aslinya ini semacam leadership training gitu kan ya? Training untuk SDM? Makanya gue agak heran kenapa sekarang promosinya lewat pengajian? Agak rancu apakah sebenernya ini masuk ke kategori SDM atau religi? Kalo memang religi….hhmmm….i don’t like the idea of commercializing religion. Aaahh, tapi ini emang guenya aja yang udah suudzon ya….

      S2 Psiko ada macem-macem. Yang S2 profesi (yang program jadi psikolog dan nanti lulus bisa praktek) cuma utk anak psiko, S2 umumnya ada bbrp jurusan, gue lupa apa aja tp temen gue ada anak ekonomi ambil S2 di Psiko bidang SDM. Waaahhh…mau kul lagi ya Met? Psiko aja deeeeeehhh…gak bakal nyesel (promosi)

  6. Hai mba rika….salam kenal yah 😀
    jadi silent reader selama ini akhirnya tergelitik juga untuk komentar nih..
    aku udah pernah ikutan training ESQ karena di bayarin kantor..mungkin kalo bayar sendiri aku juga gak akan ikutan kali ya? soalnya aku bukan tipe orang yang suka training-training seperti itu.
    selama training 3 hari, setiap sesi ‘Mati lampu’ aku pasti ketiduran di antara orang-orang yang bertangis-tangisan. kok bisa aku ketiduran? ya itu, aku gak suka dengan cara mereka mengubah persepsi orang tentang agama. tapi secara di absen ya sama kantor, tetep dunk aku dateng biarpun cuma berakhir dengan tidur dan pulang tanpa hasil 😛
    Beberapa temen aku merasa setelah training itu pemikiran mereka memang berubah, tapi adayang hanya bertahan sebulan, ada yang permanen dan ada yang dengan ikhlas mengulang terus trainingnya dengan maksud biar ilmunya tetep di tanamkan.

    khihihi…maap ya mba, baru memperkenalkan diri udah panjang komentarnya 🙂

    btw, di juni 2010 lalu sempet ada berita mengenai training ini…

    disini ya mba… http://beritaterkini.net/esq-haram/

    1. Halo Yulia. Makasih banget ya infonya.

      Kok curiganya aku bakalan sama kaya kamu, bakal ketiduran juga. Tapi berhubung bayar sendiri rugi amat ya kalo ketiduran, mending tidur di rumah aja atuuuhh… Gratis.

      Ternyata sesi mati lampunya setiap hari? Kirain hari ketiga ajaaaa…biar hemat listrik atau begimana nih maksudnya???
      Kemarin juga yang banyak diomongin dari training ini ya tangis-tangisannya…aku jadi makin males dengernya. Kok nangis malah dicari. Secara aku ini gampang banget nangis harusnya cari training yang bikin gak nangis lagi.

      Btw, maksudnya merubah persepsi orang tentang agama itu apa ya? Jadi penasaran nih…

      Tapi seneng dengernya kalo memang ada orang-orang yang mengalami perbaikan pasca ESQ ini, entahlah itu sementara atau permanen. Tapi kalo aku belum mulai aja udah males2an dan byk prasangka gini takutnya pulang dengan tangan hampa. Rugi boooo, bayar mahal2.

      Aku baca-baca di internet MUI juga pernah mempertanyakan kehalalan ESQ ini, tp akhirnya mereka gak jadi mengharamkannya.

  7. Rika…sama kayak Yulia, gw juga pernah ikut training ESQ, karena dibayarin kantor 😀
    Tiga hari penuh, dari jam 7 pagi sampe jam 6 sore! Capek luar biasa memang, apalagi waktu itu aku lagi hamil tiga bulan.
    Training ini memang “memberi janji” untuk mentransformasi pemahaman seseorang dalam memandang hidup dan memaknai hidup. Supaya lebih lurus ke jalan Tuhan katanya 🙂
    Me personally? Yes, I did find it very helpful in showing me how to be more “ikhlas”, bahwa segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini semata-mata hanya untuk Tuhan. Cara yang mereka aplikasikan pada para trainee memang bisa dibilang super fantastique #halaaah…. Perpaduan antara multimedia (film, suara menggelegar, tata cahaya, dll.) mampu membuat kita terbuai…sampai nangis2 bombayyy….
    Tapi kalo pertanyaannya adalah, “does it work?” “for how long?” then I say “Yes, it really worked… for about a month. After that, yaaa balik lagi…hihihi…. Makanya mereka menawarkan sesi “recharge” utk para alumni gratis sampe 10 tahun.
    Kesimpulannya, “apakah training ini cukup value for money?” Jawaban gw adalah “Tidak…kalo bayar dari kantong sendiri…” 😀
    Semoga ini cukup membantu yaaa….

    1. Niaaaaaa…senangnya denger cerita ini.

      Nah, gue penasaran nih sama metode transformasi pemahamannya ini. Termasuk juga metode yang katanya super fantastik ini, emang banyak yang bilang ikut training ini gak bakal bosen deh karena semua indra dipekerjakan selama training. Jadi penasaran banget pengen liat permainan tata suara, cahaya dllnya yang katanya emang luar biasa ini. Hebat banget emang idenya ini, bkn training tiga hari penuh gak pake bosen itu susah banget loh. Tapi di lain pihak jadi suka curiga juga (ih, curigation melulu deh gueeee) apakah materinya sesuai sama permainan teknologinya? Dalam artian, jangan2 materinya biasa aja tapi karena penyampaiannya heboh jadi kesannya luar biasa. Kayanya emagn harus diliat sendiri ya.

      Tapi seneng denger trainingnya ini berguna, biarpun utk sementara. Dan lebih seneng lagi denger kalo mereka menawarkan sesi recharge.

      Gue nunggu ada yg mau bayarin nih….

  8. Gw pernah ikutan esq dan bayar sendiri!! Waktu itu gw ikutan saat galau berkepanjangan setlh putus sama “mantan ponten 100” ituuuh. Iiihh emg hebat itu mantan bikin gw bangkrutt..krn dia gw jd memutuskan umroh dan bayar training esq sendiri. *jeduk2in kepala*

    Waktu itu gw memutuskan utk ikutan esq krn gw lg pengen “ditakut2in” ttg agama. Tau mereka akan menakuti gw utk inget dosa2 gw, lsg deh gw signed up. Verdict-nya: gw cuma nambah ilmu aja agama sedikit sama emg jd takut klo inget dosa2 gw. Tapiiiii… Gw ga suka sama sesi tangis2an itu jugaaaaa… Dan gw ga nangis. Ada sih agak termenung menyesal dgn kelakuan2 gw saat jd ababil pas sesi gelap2an tp gw ga ada tuh sampe nangis apalagi sesunggukan. Malah gw disamperin sama trainer esq yg kebetulan teman gw pas lg sesi nangis itu utk dikasih mic trus ngomong pengakuan dosa gw ke 1 ruangan isi 500org++, lsg gw pelototin itu temen. Besoknya temen gw nanya gmn pendapat gw ttg training nya, gw jawab gw ga suka sesi nangis dikasih mic krn kaya acara kesaksian gereja evangelist di tv gitu. Temen gw tentunya ga sependapat sama gw.

    If I can turn back the time, I think I wld not take the training. But of course, I would not date that mantan at the first place. He caused my brain damage 😀 hehehehe

    1. Putus sama si mantan ponten 100 ini dahsyat sekali rupanya efeknya ke elo, ya La. Sampe esq pun dijabanin.

      Sebenernya alasan gue jgua sama, La. Pengen ditakut-takutin, pengen disadarkan, dibikin alim, dsb….curang sih emang, ngarepnya jalan instan, ya gak heran kalo nanti hasilnya juga instan dan gak bertahan lama.

      Seneng denger kalo training ini membawa hasil, entah sebanyak atau sesedikit apapun, tapi gue emang kepentok sama adegan tangis2an itu La. Udah ilfil aja bayanginnya. Apalagi denger lo yang hampir bikin kesaksian gitu, alamaaaaaakkkk. Belon lagi nanti yang ikut kan warga Indo di Finlandia sini, yang rata-rata gue kenal…tengsin dije rasanya yaaaa

      Padahal dulu gue pernah loh ikut temen gue kebaktian di gereja (karismatik) karena pengen banget liat kesaksian yang kadang sampe ada yang pingsan2 gitu, tapi tiap kali gue ikutan gak pernah ada kesaksiannya. Sekarang bayangin kalo bisa jadi gue yang harus bikin kesaksian gue langsung angkat kaki jauh2.

  9. Rik, ESQ ini mirip sama training lain gak sih (Jakarta Training? Indonesia Development?). Lupa gue namanya. Tapi dulu ada temen kampus gue yang ikutan training begitu pas baru lulus kuliah trus jadi berubah. Dari yang outgoing dan santai banget, jadi ambisius.

    Gue sih belum pernah ikut ESQ dan nggak tertarik juga. Tapi yang gue liat, sekarang emang jadi komersial banget ya. Trus jadi sesuatu yang bergengsi dan cucok utk dipamerin. Gue liat banyak kan yang pasang stiker ESQ di mobil or rumah just for the sake of getting asked by people “Eh lo pernah ikut ESQ ya?”. Sama kayak orang2 yang nonton Java Jazz padahal gak ngerti jazz cuma demi bisa bilang “eh kemarin lo kemana? Koq gak keliatan di Java Jazz?”

    Ipar gue psikolog lho Rik. Tepatnya, psikolog anak. Tapi skrg dia jadi Manajer HRD di perusahaan karena dari situ dia dapet gaji gede hehehe.. Profesinya sebagai psikolog anak dilakukan di akhir pekan gitu. Gue bawaannya deg-degan deh deket dia karena dia kan bisa baca pribadi orang gitu. Gue rasa dia udah bacain kepribadian gue deh 😀

    1. yg keinget sama gue Asia Works, dulu kan sempet rame tuh. Ada yg setuju, ada jg yg blg itu smcm brainwash itu. Tapi ada sih bbrp org yg gue kenal ikut Asia Works ini dan mereka semuanya jago ngomong, jago presentasi, diplomatis, sukses di karir, dllnya…entahlah karena si Asia Works ataukah krn emang bibit bobotnya udah bagus.

      Sebenernya perlu juga nih gue yg santai cenderung pemalas ini disentil dikit biar ambisius….kali2 abis ikut training jadi astro nugroho KW 1 kan?

      Duuuh, analagi esq sama java jazz lo bkn gue ngakak.

      Psikolog bukan cenayang, Ra…gak bakal ketauan kok lo hasil berburu zara sale yg lo umpetin di bawah kasur itu, hahahahhahahaha. Psikolog cuma bisa memahami karakter manusia dengan lebih baik aja, tp emang kadang kalo denger orang yg profesinya psikolog kita jadi berasa dianalisa terus.

      1. Eh iya bener, Asia Works, Rik. Temen gue dulu itu sama-sama temen nongkrong di Kansas. Orangnya santai dan asyik banget. Trus udah lama nggak kedengeran, kata temen-temen gue yang lain, dia jadi berubah ambisius gitu deh. Nggak asik lagi buat diajak nongkrong.

        Iya Rik, lo ikutan Asia Works gih. Sapa tau bisa nambah anak 2 lagi, bahkan 3 lah supaya bisa ngalahin Mbak Astro 😀

  10. Gue juga males sama esq ini, karna menurut gue untuk perlu ‘bener’ itu perlu dicharge and recharge and recharge trus seumur idup. Kalo ikut skali doang gue rasa belum 6bulan balik lagi aslinya. Ini mah analisa gue pribadi, entah sama yang lain ya. Soalnya kan tiap individu beda ya. Dan lagi gue makin males karna komersil nya itu loh.

    Di depan rumah gue ada masjid, yang tiap 1x seminggu ada uztad lulusan alazhar mesir kasih ceramah kurleb stengah jam. Ceramahnya bagus banget karna langsung implementasi kehidupan sehari2 dan dia slalu cerita bagaimana nabi dulu kalo ada masalah ini itu dsb. Gak perlu ke mesjid buat denger, dari rumah juga bisa. Mending ini deh daripada esq. Dengerin gratis, ceramahnya gak bosenin dan kontiniu pulak 🙂 Makanya pas kemaren kantor nawarin ikut esq gue tolak, apalagi begitu tau jadwalnya jumat-minggu. Gak pake mikir buat nolak, buang2 wiken gue aja :p *eh ini komen apa curcol yak*

    1. Bener sih, gak adil juga kalo gue ngarepin perubahan seumur hidup dari training yang cuma 3 hari. Kayanya gak mungkin banget. Bener banget kalo utk tetep bener itu perlu di charge dan recharge terus seumur hidup. Telepon aja kalo di recharge mati ya boooo (lhaaa?)

      Ehhh…masjid mana tuuhh? Jarang-jarang nemu mesjid ceramahnya bagus. Kalo mesjid di perumahan gue yang lama ceramahnya malah ganggung soalnya cempreng banget ya suaranya, tipe yang kalo ceramah bikin orang terkaget2 saking kencengnya.

      Eh, btw itu kantor lo nawarin esq gratis apa bayar sendiri? Tawarin ke gue aja kalo gratis…hihihihihi

  11. Hahaa mendadak jadi inget (dulu) di UI itu emg kayaknya pacu2an trend kampus ya. Kalo versi gue dulu gini :
    ‘Fasilkom? ilmu komunikasi ya?’ | ‘bukan ilmu komputer’ | ‘ohh d3 ya?’ | ‘bukan s1 kok’ | ‘ohh ada ya?’ | *mukapasrah*
    dan beberapa kali dong gue ngalamin yang lebih kurang kaya gitu, temen2 lain juga pernah. terkenal banget joke ini dikampus:p

    1. Iiiihhh…beneran loooo?? Ada yang gak tau Fasilkom? Karena termasuk fakultas baru kali ya? Padahal passing gradenya kan salah satu yang tertinggi. Fakultas bonafid banget lah.

      Dulu gue sering banget makan di kantin fasilkom, internetnya enaaaak

  12. Kakk, aku pengen bangett nih masuk psiknlogi di UI. Kkak dulu ikut tes gmn? Apa ajasih yang pengaruh buat bsa masuk psikologi UI? Makasih kak.. 🙂

    1. wah, Desti….aku angkatan tuwaaak. Sistemnya udah beda sekarang. Jamanku dulu masih jamannya tes UMPTN buat masuk universitas negri. Sekarang malah aku gak tau sistemnya gimana. Harus tes di tiap2 fakultas yang dituju ya? Tesnya apa juga aku gak tau, jadi gak ngerti juga apa yang bakal ngaruh atau gak ngaruh untuk bisa masuk Psiko UI.
      Hmm…kamu gak punya temen yang sekarang di psiko ui? atau yang pernah tes masuk sana? Mungkin mereka bisa lebih membantu?

  13. Mbaaaa..ini posting ketiga akuuhh..dunia sempit ternyataaahhh..diriku juga kuliah di psiko UI..salam kenal ya mba (lagii) =p

    1. waaaah, anak pisko ui juga. Cher uwer uwer pom pom!

      1. psikologi..psikologii..cher uwer uwer pom pom..
        seangkatan sama feboy, visi, dinas, gt ya mba? hehe *sotoy

        1. ih, baru baca komen ini gara2 barusan ada yg nyebut tulisanku soal ESQ jadinya aku baca2 lagi tulisan dan komen2nya.

          Feboy dan Visi di atasku setahun. Aku seangkatan sama Dinas malah Dinas itu temen satu gengku, tiap mudik pasti aku ketemuan sama Dinas

Leave a reply to bebe Cancel reply